Senin, 07 Juni 2010

Diary Guru II : Seragam, why not?





" Menurut saya, peraturan dan formalitas itu hanya membentuk generasi selayaknya robot. Bahkan bisa berdampak pada masa depan kita, maksudku, mereka mungkin justru akan lebih berpenampilan tidak sepantasnya ketika sudah keluar. Karena merasa sudah mendapatkan kebebasan," jelas salah satu tim redaksi Star Man, Vita.

Tulisan ini saya baca di news letternya anak-anak unggulan edisi Juni 2010. Hotnews bertajuk Peraturan Lama Yang Bersemi Kembali ini cukup bagus dari segi kaidah jurnalistik. Jelas investigasinya, nara sumbernya dan plotnyapun tersusun rapi. Rasa-rasanya guru bahasa Indonesia tak perlu terlalu menguras tenaga untuk mengedit tulisan di salah satu lembaran jurnalistik sekolah ini. Beda dibanding edisi-edisi sebelumnya, saya enjoy membacanya. Mungkin karena temanya nggak terlalu dipaksa harus "excelent", sebuah kebiasaan yang mempertegas identitas mereka sebagai siswa kelas unggulan.

Tapi bukan itu yang hendak saya bicarakan. Tetapi respon mereka atas kejadian di sekelilingnya. Jelas tema ini mengangkat isu ketertiban yang sebulan ini menjadi ikon program kesiswaan di MAN Tambakberas. Program yang menjawab keluhan banyak pihak atas ketidakdisiplinan para siswa dalam hal penampilan berpakaian.

Sering dijumpai di lapangan, betapa siswa/siswi memakai atribut dan seragam yang tak beraturan. Masih satu warna, tetapi variasinya sungguh membuat hati bertanya. Berapa biaya yang mereka pakai untuk membeli jilbab yang paling uptodate, sepatu bermerk, sabuk dengan paku bercocol seperti rocker. Belum lagi asesoris bergelantungan di sepanjang pergelangan tangan dan leher mereka. Bahkan pernah saya memanggil sendiri seorang siswa yang berpotongan rambut seperti mohawk, suku Indian yang berambut plontos dengan jambul di kepala bagian tengah depan sampai belakang. Saya tertawa geli sebelum akhirnya meminta pembina OSIS 'membereskan' rambut mereka.

Anak-anak dengan tingkat pencarian jati diri yang tinggi terkadang harus membuat lingkungannya, sebuah sekolah yang memang ditata 'formal', menjadi dilematis. Satu sisi, sebagai institusi pendidikan yang diharapkan bisa mencetak peserta didik yang qualified, sekolah harus terus menyesuaikan diri dengan trend pendidikan. Trend pendidikan yang berkembang saat ini adalah pendidikan siswa berbasis Multiple Intelligences ala Howard Gardner. Pendekatan Gardner memungkinkan anak berkembang sesuai kecerdasan yang mereka  miliki. Pada siswa, ditekankan untuk berkembang sesuai dengan jenis kecerdasan masing-masing. Setiap anak punya potensi kecerdasan berbeda yang harus dioptimalkan. Sekolah hanyalah salah satu bagian dari instrumen yang memfasilitasi mereka. Selebihnya, alam adalah laboratorium lengkap yang memungkinkan mereka belajar tentang hidup dan bagaimana memaksimalkan kecerdasan mereka. Dus, properti bertendensi formalitas -apalagi sejenis stribut dan seragam-, sungguh tak mendapat tempat di sini.

Sisi lain, sebagai lembaga pemerintah yang sudah terlanjur mensikapi sesuatu berdasarkan aturan yang terkadang rigid, sekolah mau tidak mau harus bersikap formal. Karena sejak didirikan, pilihannya memang seperti itu. Termasuk dalam soal atribut, seperti seragam dan segala komponennya.
Bayangan tentang sekolah bersih, sehat, siswa yang rapi berseragam, disiplin dan berkomitmen, menghargai diri sendiri, bangga terhadap almamaternya merupakan impian segenap civitas akademika di lembaga pendidikan formal seperti madrasah ini.
Beberapa analisis sementara tentang kesalahan pengelolaan sekolah berkualitas salah satunya adalah ketidakkonsistenan dalam menerapkan aturan tentang kedisiplinan. Apalagi untuk sekolah yang berada di bawah lembaga pendidikan pesantren macam Tambakberas. Citra santri yang 'apa adanya', tak rapi, makin mengukuhkan asumsi tentang 'yah...begitulah sekolah di pesantren....'.
Bukan hal yang mudah memadukan kesadaran tentang pentingnya kebebasan berekspresi dengan keharusan masuk dalam pasungan formalitas. Dilema ini menyerang saya juga. Sebagai orang yang pernah dididik dalam proses dua karakteristik pendidikan tersebut, saya tahu, proses mana diantaranya yang paling memasuki benak saya serta membawa perubahan luar biasa sesudahnya.
Tetapi sebuah pilihan mengandung arti bagaimana cara bertanggung jawab.
Ketika kita sudah memilih formalitas sebagai institusi yang kita percaya sebagai lahan perjuangan, maka konsekuensi logisnya, kita harus mengikuti aturan mainnya. Jangan pernah menyesali hidup yang sudah terlanjur kita nikmati saripatinya. Itu sama saja dengan tidak bertanggung jawab. Setiap waktu menuntut kita menjawab semua tantangannya.

Tetapi tidak lantas kita melupakan nilai perjuangan yang lain, yang kita yakini pernah mengantarkan kita dalam memperoleh spirit perubahan. Pun ketika program ketertiban ini digulirkan. Komitmen yang dibangun sejak awal adalah bagaimana membuat para siswa lebih disiplin dengan aturan main. Bagaimana mungkin pembangunan fisik dibombardir, peningkatan kualitas guru terus ditingkatkan, tapi kita hanya jadi penonton yang mengagumi saja. Bangga karena punya properti dan fasilitas, tapi tidak yakin dengan identitas. Ketika ditanya citra diri, tak mampu mewakili.
Pada suatu kesempatan brifing di lapangan, saya mengatakan bahwa orang  yang berkualitas itu dilihat dari komitmennya. Komitmen itu dibangun dengan keyakinan kita pada keberadaan diri. Menjadi bagian dari sejarah, menjadi bagian dari lingkungan, terutama menjadi bagian dari proses untuk perubahan.
Itu bisa dimulai dengan menunjukkan identitas, dari yang paling sederhana, yakni atribut. Karena gambar terkadang bisa bicara lebih banyak ketimbang kata-kata. Orang tahu kita, karena apa yang kita pakai. Itulah identitas dalam tahapan yang paling sederhana.
Ini tidak ada artinya jika dibanding dengan kesempatan berekspresi yang diwadahi oleh madrasah. Perlu diketahui, di MAN Tambakberas ini ada 25 jenis kegiatan ekstra yang disediakan oleh madrasah. Sebagian besar kegiatan itu karena usulan dan permintaan anak-anak. Sebagian mendulang prestasi dalam beberapa kompetisi, banyak juga yang kita ikutkan dalam berbagai even, tapi tidak berbuah medali. Bagi saya sendiri, yang terpenting adalah bagaimana anak-anak punya pengalaman berlaga secara sportif. Selebihnya, biar mereka sendiri yang belajar, bagaimana harus berjuang dan merebut kemenangan itu. Pernahkah madrasah menuntut dikembalikan biaya yang sudah dikeluarkan untuk semua ketidakberuntungan itu? Sama sekali tidak. Karena kita yakin secara alamiah, mereka sudah melewati proses belajar, yang nilainya tak terganti dengan apapun. Masa depan mereka dilewati dari proses ini. Itu lebih dari cukup.

Jadi kalaupun karena program ini, banyak yang kemudian protes, maka selalu saya katakan saya pantang surut hanya karena protes yang menguntungkan diri sendiri. Kenapa saya katakan menguntungkan diri sendiri? Karena sebenarnya ini sama sekali tidak memberatkan dan membelenggu proses belajar mereka. Atribut sudah mereka miliki, tapi malas menjahitnya. Sepatu hitam yang murah enggan mereka pakai hanya karena nggak trendi. Jilbab penuh manik-manik mereka pilih, karena membuat lebih cantik dibanding jilbab seragam sederhana yang disediakan madrasah.

So para siswaku tercinta, yang kelak menggenggam masa depan bangsa, seragam hanya masalah kecil dibanding semua hal yang harus kalian dapatkan di madrasah ini. Kesederhanaan, komitmen, menghargai sesama, menghormati yang lebih tua, bangga terhadap apapun yang kita punya, tidak mengada-ada, tumbuh  berkembang selayaknya, itulah yang dituju untuk membentuk karakter. Untuk semua itu, kita mulai dengan komitmen bersama. Tak ada yang sempurna, para perangkat pendidikan juga berproses untuk menjadi yang lebih baik.
 Setelah dari sini, kalian boleh menentukan arah hidup. Mungkin orang tua kalian akan bisa memahami pilihan kalian.
Dus, aku menunggu kiprah kalian, untuk berjalan bersama, memperbaiki kesalahan yang kita punya.
Kesalahan tak harus disesali. Dia ada untuk membantu kita menemukan wujud diri yang terbaik.
Salam

Tidak ada komentar:

Introduction