Sabtu, 12 Juni 2010

Dolanan yuukk...




Kalau anak-anak kecil sekarang ditanya tentang lagu dolanan, pasti mereka akan cuek menjawab tidak tahu. Atau kalau ada yang sedikit antusias, pasti bertanya, apa itu? Apakah semacam produk game terbaru? asyik mana sama Mafia Stars? Kalau Naruto, aku suka, kata mereka. Atau yang suka bola pasti tak asing dengan Kapten Tsubasa. Masih mending cerita filosofis Aang si Avatar. Semua nama di atas sebenarnya hanya saya dengar sambil lalu saja. Sesekali nimbrung dengan anak kalau pas suasana mendukung. Tapi lebih banyak saya yang terheran-heran melihat betapa mereka begitu terpaku pada layar monitor --TV maupun komputer-- untuk memainkan jemari dan mata mereka.

Beda banget dengan suasana waktu saya masih seusia mereka. Bagi generasi yang dibesarkan di era 70-an hingga 80-an, dolanan menjadi bagian dari waktu yang paling ditunggu selepas sekolah. Yang paling banyak berperan adalah fisik dan strategi. Berlari, melompat, menghitung, cermat, hati-hati, adalah bagian yang harus dipunyai untuk memenangkan permainan seperti obak beteng, pencolotan, skiping, benthik, bekel, dakon, suru, dll.
Meski pada dasarnya waktu luang saya sempit sekali karena saya sekolah pagi dan sore, saya masih sangat menikmati hari-hari libur yang hanya separoh. Jum'at siang hari dan Minggu pagi. Tapi memori saya tentang dolanan ini begitu banyak. Bahkan saya masih sempat cari ikan di selokan, cari tebu di sawah, cari buah salam di kebun orang, manjat pohon keres dan belimbing di rumah nenek ** wah yang ini top secret**. Belum lagi mainan standar seperti pasaran, main boneka, nebak nama dll. Wah, saya juga baru tahu banyak sekali dolanan saya dulu, setelah saya list begini. Itu belum semua.

Pada beberapa jenis dolanan, ada lagu yang harus dinyanyikan untuk memulai permainan. Bermain patung, dimana yang paling awal bergerak, dan tidak mematung, dia yang jadi dan yang lain berlari, lihatlah lagunya ..
" putih- putih melati, Alibaba
Merah-merah delima, Pinokio
Siapa yang baik hati, Cinderella
Tentu disayang mama..
Upik abu jadi patung, patungnya patung raja, rajanya rajawali, walinya wali Solo, Solonya Solokothok, bapak ilang nggowo pentung..."
( sambil menulis ini, saya ketawa, itu apa makna lagunya, siapa yang menciptakan dan mempopulerkan, saya sendiri nggak tahu. ada-ada saja...kkkk)

Lagu yang berbeda untuk mengiringi permainan yang hampir sama terdapat pada lagu berikut :
" Sepiring dua piring seperak dua perak apa namanya..."

Ada permainan yang tak diiringi dengan lagu, juga yang hanya sekedar lagu tanpa permainan.
Seperti ini :
" sentolop batu limo, mo opo, montor, montore mlayu ngidul, dul opo Dulah, Dulahe nunggu sawah, wah opo, Walang, walange miber-miber, ber opo, beras, berase dipususi, si opo, singkek, singkek mangan rojo, jo opo .....dst ** saya nggak berani meneruskan karena nggak etis**

Untuk menebak siapa yang kentut dalam sebuah komunitas, biasanya saya dan teman-teman kecil saya menyanyikan lagu. Karena jarang ada yang mau mengaku, babak akhir lagu ini seringkali makan korban. Tuduhan tak berdasar...hehehe..

" thang thing thang brot cowek gopel adah entut, ser ndelewr srot, nang kali ngiseni kendi, nang balong longsrot, godong waru dipertelu, godong dadap diperpapat, sing ngentut ......** sensor** jibrat,
Siapa yang kena tuding di akhir lagu, dia dianggap biang kentut. Biasanya  pasti ramai karena bisa jadi tudingan itu salah. Dan yang jadi korban pasti protes.

ada lagi..
" ning nang ning glung wak bayan, sego jagung ra doyan, iwak pitik enake, ketiban dingklik aduh mak e...
haha
Masih banyak sebenarnya lagu dan dolanan yang timbul tenggelam dalam ingatan saya. Yang jelas, ketika saya mengingatnya selalu yang terbersit adalah suasana riang gembira, semangat, imajinatif dan ditunggu-tunggu.
Bagaimana saya selalu interes dengan lingkungan, saya kira juga diawali dengan imajinasi tentang selokan dimana saya mencari ikan, atau sawah dimana saya 'ngasak' tebu, pohon-pohon tempat saya bermimpi punya rumah di atasnya. Seperti dalam cerita Pippi si Kaus Kaki Panjang, terjemahan dari Pippi Longstrump, novel anak-anak yang populer di tahun 80-an. Novel ini berkisah tentang seorang anak perempuan yang suka berpetualang dan suka kaus kaki panjang.
Imajinasi anak generasi tersebut saya kira juga didukung banyaknya bacaan yang mengisahkan dongeng lokal berbasis lingkungan dan tradisi. Paman Jan Mintaraga adalah salah satu pendongeng dan komikus yang setia menulis di majalah anak-anak Ananda. Salah satunya adalah cerita Mahabarata yang divisualkan dalam cergam penuh filsafat hidup.
Semua kisah-kisah yang saya baca, sangat mendukung kenyataan keseharian bocah yang cenderung suka pada hal-hal yang baru dan inspiratif. Sehingga perpaduan antara literatur dan ekspresi menemukan titik yang padan dalam satu permainan baru yang penuh tantangan. Dolanan dan lagunya. Wah, agaknya saya terdengar memaksa-maksa menghubungkan beberapa hal yang sebenarnya hanyalah slide hidup saja.
Ah, mengapa jadi rumit begini?
Namun ingatan tentang lingkungan yang sangat akrab dan sarat dengan petualangan khas anak-anak, tak mudah hilang. Sekarang semua itu hampir bisa dikatakan musnah. Tak ada selokan yang berisi ikan. Dimanapun itu. Selokan hanyalah seonggok genangan air yang menghitam dan bau. Sawah-sawah berganti bangunan beton yang angkuh dan tidak bersahabat. Bahkan untuk mengetahui bagaimana asal muasal beras yang dimakan, anak sekarang harus menggunakan kurikulum sekolah unggulan dengan biaya yang besar. Sedemikian anomalikah kita pada lingkungan sehingga hal-hal yang sangat mendasar sekarang harus dikemas dengan gaya kapitalis?
Anak-anak saya ternyata juga produk lingkungan seperti itu. Berjam-jam waktu mereka habiskan di depan layar komputer dan televisi di dalam rumah. Bahkan iming-iming saya tentang asyiknya mencari ikan di sungai dan sawah dekat rumah pun tidak membuat mereka tergerak. Karena sungainya sendiri bau dan hitam, dan di sawah, hawanya panas sekali. Mereka hanya suka ketika mereka melihat si Bolang dan laptop si Unyil  saja. Tapi mengalami sendiri membuat mereka mengeluh. " Panas, Bunda" kata mereka.
Saya sendiri tak bisa menyalahkan, karena ketika mereka keluar saya selalu was-was dan penuh pesan. Hati-hati banyak mobil dan sepeda ngebut. Hati-hati sama orang asing, sekarang banyak penculikan. Hati-hati, banyak kuman dimana-mana. Hati-hati, dan sederet kalimat, yang saya sendiri benci mendengarnya.
Beda sekali dengan era saya dulu. Tak ada kekhawatiran ketika saya bermain-main kemanapun. Dimana-mana masih terasa semilir angin yang sejuk. Dan tak ada orang dewasa dengan kelainan aneh-aneh yang mengerikan.
Setiap zaman barangkali punya kekhasan masing-masing. Saya saja yang kuno dan terlalu terbelenggu dengan imajinasi masa lalu. Sehingga terlalu khawatir bahwa mereka tak bisa menikmati masa kecilnya. Namun dalam benak saya, saya ingin sekali anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang bersih dan menyenangkan. Dekat dengan alam, penuh imajinasi, sama seperti ketika saya mengingat masa kecil saya.

Saya hanya berfikir, 20 tahun lagi, apa kira-kira yang tersembul dalam ingatan mereka ketika ditanya tentang masa kecil?
Kalau saya kan jelas ....
Dolanan yuukkk...

Senin, 07 Juni 2010

Diary Guru II : Seragam, why not?





" Menurut saya, peraturan dan formalitas itu hanya membentuk generasi selayaknya robot. Bahkan bisa berdampak pada masa depan kita, maksudku, mereka mungkin justru akan lebih berpenampilan tidak sepantasnya ketika sudah keluar. Karena merasa sudah mendapatkan kebebasan," jelas salah satu tim redaksi Star Man, Vita.

Tulisan ini saya baca di news letternya anak-anak unggulan edisi Juni 2010. Hotnews bertajuk Peraturan Lama Yang Bersemi Kembali ini cukup bagus dari segi kaidah jurnalistik. Jelas investigasinya, nara sumbernya dan plotnyapun tersusun rapi. Rasa-rasanya guru bahasa Indonesia tak perlu terlalu menguras tenaga untuk mengedit tulisan di salah satu lembaran jurnalistik sekolah ini. Beda dibanding edisi-edisi sebelumnya, saya enjoy membacanya. Mungkin karena temanya nggak terlalu dipaksa harus "excelent", sebuah kebiasaan yang mempertegas identitas mereka sebagai siswa kelas unggulan.

Tapi bukan itu yang hendak saya bicarakan. Tetapi respon mereka atas kejadian di sekelilingnya. Jelas tema ini mengangkat isu ketertiban yang sebulan ini menjadi ikon program kesiswaan di MAN Tambakberas. Program yang menjawab keluhan banyak pihak atas ketidakdisiplinan para siswa dalam hal penampilan berpakaian.

Sering dijumpai di lapangan, betapa siswa/siswi memakai atribut dan seragam yang tak beraturan. Masih satu warna, tetapi variasinya sungguh membuat hati bertanya. Berapa biaya yang mereka pakai untuk membeli jilbab yang paling uptodate, sepatu bermerk, sabuk dengan paku bercocol seperti rocker. Belum lagi asesoris bergelantungan di sepanjang pergelangan tangan dan leher mereka. Bahkan pernah saya memanggil sendiri seorang siswa yang berpotongan rambut seperti mohawk, suku Indian yang berambut plontos dengan jambul di kepala bagian tengah depan sampai belakang. Saya tertawa geli sebelum akhirnya meminta pembina OSIS 'membereskan' rambut mereka.

Anak-anak dengan tingkat pencarian jati diri yang tinggi terkadang harus membuat lingkungannya, sebuah sekolah yang memang ditata 'formal', menjadi dilematis. Satu sisi, sebagai institusi pendidikan yang diharapkan bisa mencetak peserta didik yang qualified, sekolah harus terus menyesuaikan diri dengan trend pendidikan. Trend pendidikan yang berkembang saat ini adalah pendidikan siswa berbasis Multiple Intelligences ala Howard Gardner. Pendekatan Gardner memungkinkan anak berkembang sesuai kecerdasan yang mereka  miliki. Pada siswa, ditekankan untuk berkembang sesuai dengan jenis kecerdasan masing-masing. Setiap anak punya potensi kecerdasan berbeda yang harus dioptimalkan. Sekolah hanyalah salah satu bagian dari instrumen yang memfasilitasi mereka. Selebihnya, alam adalah laboratorium lengkap yang memungkinkan mereka belajar tentang hidup dan bagaimana memaksimalkan kecerdasan mereka. Dus, properti bertendensi formalitas -apalagi sejenis stribut dan seragam-, sungguh tak mendapat tempat di sini.

Sisi lain, sebagai lembaga pemerintah yang sudah terlanjur mensikapi sesuatu berdasarkan aturan yang terkadang rigid, sekolah mau tidak mau harus bersikap formal. Karena sejak didirikan, pilihannya memang seperti itu. Termasuk dalam soal atribut, seperti seragam dan segala komponennya.
Bayangan tentang sekolah bersih, sehat, siswa yang rapi berseragam, disiplin dan berkomitmen, menghargai diri sendiri, bangga terhadap almamaternya merupakan impian segenap civitas akademika di lembaga pendidikan formal seperti madrasah ini.
Beberapa analisis sementara tentang kesalahan pengelolaan sekolah berkualitas salah satunya adalah ketidakkonsistenan dalam menerapkan aturan tentang kedisiplinan. Apalagi untuk sekolah yang berada di bawah lembaga pendidikan pesantren macam Tambakberas. Citra santri yang 'apa adanya', tak rapi, makin mengukuhkan asumsi tentang 'yah...begitulah sekolah di pesantren....'.
Bukan hal yang mudah memadukan kesadaran tentang pentingnya kebebasan berekspresi dengan keharusan masuk dalam pasungan formalitas. Dilema ini menyerang saya juga. Sebagai orang yang pernah dididik dalam proses dua karakteristik pendidikan tersebut, saya tahu, proses mana diantaranya yang paling memasuki benak saya serta membawa perubahan luar biasa sesudahnya.
Tetapi sebuah pilihan mengandung arti bagaimana cara bertanggung jawab.
Ketika kita sudah memilih formalitas sebagai institusi yang kita percaya sebagai lahan perjuangan, maka konsekuensi logisnya, kita harus mengikuti aturan mainnya. Jangan pernah menyesali hidup yang sudah terlanjur kita nikmati saripatinya. Itu sama saja dengan tidak bertanggung jawab. Setiap waktu menuntut kita menjawab semua tantangannya.

Tetapi tidak lantas kita melupakan nilai perjuangan yang lain, yang kita yakini pernah mengantarkan kita dalam memperoleh spirit perubahan. Pun ketika program ketertiban ini digulirkan. Komitmen yang dibangun sejak awal adalah bagaimana membuat para siswa lebih disiplin dengan aturan main. Bagaimana mungkin pembangunan fisik dibombardir, peningkatan kualitas guru terus ditingkatkan, tapi kita hanya jadi penonton yang mengagumi saja. Bangga karena punya properti dan fasilitas, tapi tidak yakin dengan identitas. Ketika ditanya citra diri, tak mampu mewakili.
Pada suatu kesempatan brifing di lapangan, saya mengatakan bahwa orang  yang berkualitas itu dilihat dari komitmennya. Komitmen itu dibangun dengan keyakinan kita pada keberadaan diri. Menjadi bagian dari sejarah, menjadi bagian dari lingkungan, terutama menjadi bagian dari proses untuk perubahan.
Itu bisa dimulai dengan menunjukkan identitas, dari yang paling sederhana, yakni atribut. Karena gambar terkadang bisa bicara lebih banyak ketimbang kata-kata. Orang tahu kita, karena apa yang kita pakai. Itulah identitas dalam tahapan yang paling sederhana.
Ini tidak ada artinya jika dibanding dengan kesempatan berekspresi yang diwadahi oleh madrasah. Perlu diketahui, di MAN Tambakberas ini ada 25 jenis kegiatan ekstra yang disediakan oleh madrasah. Sebagian besar kegiatan itu karena usulan dan permintaan anak-anak. Sebagian mendulang prestasi dalam beberapa kompetisi, banyak juga yang kita ikutkan dalam berbagai even, tapi tidak berbuah medali. Bagi saya sendiri, yang terpenting adalah bagaimana anak-anak punya pengalaman berlaga secara sportif. Selebihnya, biar mereka sendiri yang belajar, bagaimana harus berjuang dan merebut kemenangan itu. Pernahkah madrasah menuntut dikembalikan biaya yang sudah dikeluarkan untuk semua ketidakberuntungan itu? Sama sekali tidak. Karena kita yakin secara alamiah, mereka sudah melewati proses belajar, yang nilainya tak terganti dengan apapun. Masa depan mereka dilewati dari proses ini. Itu lebih dari cukup.

Jadi kalaupun karena program ini, banyak yang kemudian protes, maka selalu saya katakan saya pantang surut hanya karena protes yang menguntungkan diri sendiri. Kenapa saya katakan menguntungkan diri sendiri? Karena sebenarnya ini sama sekali tidak memberatkan dan membelenggu proses belajar mereka. Atribut sudah mereka miliki, tapi malas menjahitnya. Sepatu hitam yang murah enggan mereka pakai hanya karena nggak trendi. Jilbab penuh manik-manik mereka pilih, karena membuat lebih cantik dibanding jilbab seragam sederhana yang disediakan madrasah.

So para siswaku tercinta, yang kelak menggenggam masa depan bangsa, seragam hanya masalah kecil dibanding semua hal yang harus kalian dapatkan di madrasah ini. Kesederhanaan, komitmen, menghargai sesama, menghormati yang lebih tua, bangga terhadap apapun yang kita punya, tidak mengada-ada, tumbuh  berkembang selayaknya, itulah yang dituju untuk membentuk karakter. Untuk semua itu, kita mulai dengan komitmen bersama. Tak ada yang sempurna, para perangkat pendidikan juga berproses untuk menjadi yang lebih baik.
 Setelah dari sini, kalian boleh menentukan arah hidup. Mungkin orang tua kalian akan bisa memahami pilihan kalian.
Dus, aku menunggu kiprah kalian, untuk berjalan bersama, memperbaiki kesalahan yang kita punya.
Kesalahan tak harus disesali. Dia ada untuk membantu kita menemukan wujud diri yang terbaik.
Salam

Rabu, 02 Juni 2010

PELAJARAN TENTANG KEHIDUPAN

Seven Social Sins (Tujuh Dosa Sosial):
Politics Without Principle
Wealth Without Work
Pleasure Without Conscience
Knowledge Without Character
Comerce Without Morality
Science Without Humanity
Worship Without Sacrifice
(Quoted by Mahatma Gandhi in Young India: 1925)
Manusia modern saat ini mengalami begitu banyak problem sosial yang semakin kompleks. Parahnya mereka tidak sadar atau bahkan tidak merasakan sama sekali. Meskipun di sekitar kehidupan mereka perkembangan teknologi mengalami kemajuan yang pesat. Namun kemajuan itu justru membuat pemikiran manusia sekarang semakin jatuh dan rendah. Bukannya menjadikan masyarakat semakin sejahtera, damai, aman, dan tenteram dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Masih terlalu banyak manusia yang memaksakan kehendak mereka kepada manusia yang lainnya. Maka, timbullah pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, misal: hak untuk hidup, hak untuk bekerja, sampai hak untuk memperoleh pendidikan. Selain itu, kurangnya sarana dan prasarana untuk menjalankan kewajiban-kewajiban masyarakat yang sesuai.
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, khususnya teknologi yang tidak diimbangi dengan ilmu sosial dan humaniora. Seharusnya sebelum melangkah ketaraf pembangunan teknologi, manusia harus mempunyai dasar dan pondasi yang kuat tentang ilmu sosial dan humaniora. Yakni perlunya menanamkan perasaan cinta terhadap tanah air sekaligus arti penting tentang kemanusiaan.
Salah satu pelajaran penting itu bisa didapatkan dari perjuangan Mahatma Gandhi dalam menentang kolonialisme. Kehidupan masyarakat tidak akan harmonis jika ada yang disebut Gandhi dengan Seven Social Sin (tujuh dosa sosial). Memang kehidupan manusia tidak lepas dari kesalahan, bahkan seorang guru pun dapat berbuat salah. Namun yang paling penting adalah berani mengakui kesalahan itu, dan tidak mencari kesalahan orang lain. Atau juga tidak mencari kebenaran untuk dirinya sendiri dan kelompoknya.
Masyarakat selalu mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu akibat dari segala aktivitasnya. Tidak heran jika kemudian Allah SWT menurunkan kitab suci Al-Qur’an dan Hadits untuk dijadikan pedoman bagi umat manusia di muka bumi. Bahkan dalam kitab-kitab itu banyak menceritakan tentang kehidupan masyarakat di masa lampau. Yang masih menjadi pertanyaan adalah kenapa Allah SWT menyuruh umat manusia untuk belajar dari sejarah? Wallahua’lam bi as-shawaab.

Pesanggrahan Madjapahit, 9 September 2009
Fendy Suhartanto, S.S.

Introduction