Kamis, 06 Mei 2010

Diary Guru

Suatu ketika aku begitu kecewa pada murid-muridku. Egoku sebagai guru yang harus dipatuhi, dihabiskan oleh anak didikku dengan cara : satu kelas tidak satupun yang mengerjakan tugas pekerjaan rumah ! Biasanya jika satu dua yang tidak mengerjakan, aku begitu toleran, memaafkan dan mencari alternative pengganti yang tidak terlalu merepotkan mereka yang kufikir disibukkan oleh kegiatan pondok yang memang sudah jadi siklus harian mereka.
Tapi hari itu seperti telah menjadi hari yang sangat tidak biasanya bagiku. Sudah sejak awal kelas ramai, ketika aku masuk pada teriak-teriak minta diputarkan film. Aku memang pernah berjanji putar film di akhir semester kalau materi sudah kelar, atau kalau memang ada tema yang relevan dengan materi. Tapi hari ini bukanlah hari yang kujanjikan itu. Jelas sekali temanya. Aku memberi tugas minggu lalu. Dan hari ini kita akan membahasnya.
Aku menunggu mereka diam dengan mencoba menekan emosiku sebisa mungkin. Aku manusia. Mereka tidak menyayangi dan menghormatiku, itu cukup bagiku untuk mencoba mempertanyakan kesungguhan mereka. Terpukul? Tentu saja. Aku pernah sangat marah untuk kasus yang sama. Kulampiaskan itu di depan kelas tanpa memperdulikan bahwa tidak semua anak membuat kesalahan. Setelahnya aku sangat menyesal. Hari ini aku tak ingin mengulangi hal yang sama. Walaupun sangat marah, aku harus bisa mengendalikan diri.
Biasanya ketika masuk kelas, selalu ada bahan canda dan tawa untuk relaksasi. Atau sekedar ice breaking untuk melemaskan otak. Tapi tidak untuk hari itu. Aku sangat serius dan tidak ada pembicaraan apapun begitu tahu mereka mengabaikan tugas yang kuperintahkan. Aku hanya memandang diam mereka yang masih saja clometan sembari memberi alasan ini itu yang tidak masuk akal. Melihat keseriusanku mereka akhirnya sadar bahwa kesalahan fatal telah terjadi.
Kupertanyakan kembali komitmen mereka minggu lalu. Kutusuk kesadaran mereka di area yang terdalam. Masalah ini kecil sekali, tapi jelas akan berdampak besar ketika mereka menjadi pemimpin --sebuah harapan yang senantiasa dihembuskan oleh para guru mereka--. Bagaimana mungkin seorang pemimpin mengabaikan janji mereka dan tanpa rasa bersalah berkelit dari masalah? Lantas bagaimana jika hal ini dilakukan oleh satu, dua, sepuluh, seratus, seribu kelas ? Berapa banyak orang yang akan dikecewakan dan dikorbankan? Dan atas nama kemakluman, seorang guru mendiamkan saja? Kalau ada guru sabar seperti itu, jelas bukan aku. Jangan heran kalau bangsa ini selalu menempati ranking tertinggi untuk setiap kategori yang negative.
Pelajaran hari itu berubah menjadi ajang brain storming. Seperti biasanya kata-kataku bagai mitraliur yang tak memberi kesempatan mereka untuk melakukan serangan balik.
Sebagai pamungkas aku meminta mereka menyiapkan kertas dan alat tulis. Kusuruh mereka mereviuw dan merefleksikan kejadian hari ini. Terserah apapun yang ingin mereka tulis. Sebab menurutku mereka tak akan bisa mengimbangiku dalam pernyataan verbal. Atas nama ego, jelas akan kupangkas di tengah jalan. Namun sebagai guru yang harus menunjukkan karakteristik pendidik – hmmm.. --, maka kau harus memberikan kesempatan mereka untuk menumpahkan uneg-unegnya. Mereka boleh marah, boleh tidak terima, boleh ngritik, minta maaf dan apapun itu…Tentu saja aku berharap bahwa permohonan maaf tetap menjadi mindstream utama.
Seperti yang kuduga, permohonan maaf dan penyesalan mendominasi sebagian besar catatan mereka. Sesekali nada pujian tersembul -- biasanya kucandai mereka dengan janji nilai bagus setiap pujian, hehe narsis.com , tentu saja tidak serius --.
Namun ada satu catatan yang mengusik mataku dan membuatku harus membacanya berulangkali. Aku kenal dia. Siswi yang tidak pernah berkata tidak untuk setiap kali tawaran ke depan. Ketua kelas yang penuh semangat, meski anak buahnya punya energi berlebih. Kata-katanya sangat menyentuh dan membuka peluang bagiku untuk merefleksi ulang sebuah kesalahan, terutama yang menurut judgementku dilakukan oleh siswa-siswiku. Begini bunyinya..
Saya tahu cara terbaik menghadapi kesalahan adalah :
1. Segera mengakuinya
2. Tidak mendiamkannya
3. Belajar dari kesalahan itu
4. Tidak mengulanginya
5. Tidak melemparkan kesalahan/ mencari-cari alasan
Tapi maaf Bu, aku masih butuh pembelajaran untuk menjalankan semua poin-poin di atas. Saya ingin mempunyai pikiran “ NANTI BAGAIMANA” bukan pikiran “BAGAIMANA NANTI SAJA”
Dan tidak ada pohon mahal ketika masih berdiri tegak di tengah hutan, tidak ada air yang mahal ketika masih berada di sumber pegunungan dan tidak ada ikan mahal kalau masih berenang di lautan.”
  Heni Okta


Tidak ada pemanggilan khusus untuknya hari itu maupun hari-hari yang lain. Semua berjalan seperti biasa. Namun sampai kini, tulisan itu masih bertengger di mejaku. Aku tertarik untuk mengelola perspektifku tentang kemungkinan kreatif seorang siswa. Mereka memang ikan di lautan, pohon di tengah hutan, dan mata air pegunungan, bahkan gabah yang belum ditumbuk. Orang dewasa lain, tidak hanya guru , harus membangun peluang dan kesempatan buat mereka untuk membuktikan diri sebagaimana yang mereka cita-citakan. Tidak membiarkannya sendirian tanpa arah dan bimbingan. Apalagi tak perduli jika mereka tiduran dalam kelas, ketika sedang berlangsung pelajaran.
Murid-murid adalah harta masa depan yang tak ternilai, meskipun terkadang harus diasah dengan agak sedikit melelahkan. Tetapi seorang guru harus tetap punya keyakinan bahwa perubahan itu sesuatu yang niscaya meski butuh waktu.

Tidak ada komentar:

Introduction